Sektor pariwisata merupakan salah satu andalan pemasukan devisa, penyedia
lapangan pekerjaan dan penggerak pada perekonomian di sekitar obyek wisata.
Karena itu seluruh komponen bangsa harus turut mendukung kemajuan sektor
pariwisata, baik menyangkut tata kelola kebijakan, peninggalan kebudayaan
tradisional, maupun pengembangan potensi dan pelestarian obyek wisatanya.
Bangsa Indonesia sangat kaya dengan peniggalan kebudayaan tradisional yang
masing-masing memiliki daya tarik bagi kunjungan wisata baik mancanegara maupun
wisatawan lokal.
Salah satu warisan budaya spesifik di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten
Karo adalah bangunan Rumah Adat Karo yang dikenal dengan nama Rumah Adat
SIWALUH JABU, yang sebahagian diantaranya masih terdapat di Desa Lingga
Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo.
Secara umum Rumah Adat Karo SIWALUH JABU ini diartikan sebagai sebuah
bangunan rumah besar yang terbuat dari bahan kayu dengan rancang desain spesifik
tanpa paku besi, yang didalamnya terdiri atas delapan (waluh) bagian dan setiap
bagian dihuni masing-masing satu kepala keluarga (jabu) yang mempunyai
kedudukan dan fungsi berbeda dalam kaitan sistem kekerabatan suku Karo.
Dewasa ini Rumah Adat Karo SIWALUH JABU yang merupakan warisan
budaya generasi sebelumnya, banyak dikunjungi oleh para wisatawan, apakah itu
sekedar melihatnya sebagai obyek wisata di Desa Lingga maupun sebagai obyek
penelitian bagi para arsitektur karena keunikannya.
lapangan pekerjaan dan penggerak pada perekonomian di sekitar obyek wisata.
Karena itu seluruh komponen bangsa harus turut mendukung kemajuan sektor
pariwisata, baik menyangkut tata kelola kebijakan, peninggalan kebudayaan
tradisional, maupun pengembangan potensi dan pelestarian obyek wisatanya.
Bangsa Indonesia sangat kaya dengan peniggalan kebudayaan tradisional yang
masing-masing memiliki daya tarik bagi kunjungan wisata baik mancanegara maupun
wisatawan lokal.
Salah satu warisan budaya spesifik di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten
Karo adalah bangunan Rumah Adat Karo yang dikenal dengan nama Rumah Adat
SIWALUH JABU, yang sebahagian diantaranya masih terdapat di Desa Lingga
Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo.
Secara umum Rumah Adat Karo SIWALUH JABU ini diartikan sebagai sebuah
bangunan rumah besar yang terbuat dari bahan kayu dengan rancang desain spesifik
tanpa paku besi, yang didalamnya terdiri atas delapan (waluh) bagian dan setiap
bagian dihuni masing-masing satu kepala keluarga (jabu) yang mempunyai
kedudukan dan fungsi berbeda dalam kaitan sistem kekerabatan suku Karo.
Dewasa ini Rumah Adat Karo SIWALUH JABU yang merupakan warisan
budaya generasi sebelumnya, banyak dikunjungi oleh para wisatawan, apakah itu
sekedar melihatnya sebagai obyek wisata di Desa Lingga maupun sebagai obyek
penelitian bagi para arsitektur karena keunikannya.
Dengan demikian maka Rumah Adat Karo SIWALUH JABU di Desa Lingga
sebagai obyek wisata menarik untuk diamati, dikembangkan dan dilestarikan guna
menunjang kiprah kepariwisataan Sumatera Utara khususnya Kabupaten Karo.
sebagai obyek wisata menarik untuk diamati, dikembangkan dan dilestarikan guna
menunjang kiprah kepariwisataan Sumatera Utara khususnya Kabupaten Karo.
Nama Desa Lingga di Kabupaten Karo mulai dikenal sejak kedatangan
keturunan Raja Linggaraja dari Dairi. Lingga merupakan daerah peristirahatan yang
erakhir dari putera bugsu Raja Linggaraja dalam pengembaraannya ketika putera
bungsu itu dibuang dari kerajaan Linggaraja.
Beberapa bulan sebelum putra bugsu dari raja itu dibuang, raja tersebut
menderita penyakit yang cukup serius. Atas petunjuk dukun Pak-pak Pitu Sidalanen,
raja harus membuang putera bungsunya tersebut dari kerajaan Linggaraja, agar
penyakit dapat sembuh.
Sebelum putra bungsu diberangkatkan dari kerajaan, dia dikenali dengan
segumpal tanah, sekendi air dan seekor kuda. Raja memberi pesan kepada putera
bungsu agar mencari tanah yang keadaannya sesuai dengan tanah yang dibawanya
tadi. Putera bungsu akhirnya sampai di hutan Kutasuah, Tanah Karo. Karena tanah
disekitar ini sesuai dengan tanah yang dibawanya tadi, maka ditempat itulah ia
mendirikan tempat tinggal dan disekitar tempat itu telah ada penduduk lain yang tidak
diketahui asal keturunannya, tetapi karena melihat pendatang baru (putera bungsu) itu
adalah orang baik-baik, maka mereka sepakat untuk menerimanya sebagai warga desa
dan putera bungsu dikawinkan dengan gadis Beru Ginting Suka.
Dari perkawinan itu putera bungsu mendapatkan keturunan empat orang anak
yaitu tiga laki-laki dan satu perempuan yang masing-masing diberi nama :
Lingga (Laki-laki)
keturunan Raja Linggaraja dari Dairi. Lingga merupakan daerah peristirahatan yang
erakhir dari putera bugsu Raja Linggaraja dalam pengembaraannya ketika putera
bungsu itu dibuang dari kerajaan Linggaraja.
Beberapa bulan sebelum putra bugsu dari raja itu dibuang, raja tersebut
menderita penyakit yang cukup serius. Atas petunjuk dukun Pak-pak Pitu Sidalanen,
raja harus membuang putera bungsunya tersebut dari kerajaan Linggaraja, agar
penyakit dapat sembuh.
Sebelum putra bungsu diberangkatkan dari kerajaan, dia dikenali dengan
segumpal tanah, sekendi air dan seekor kuda. Raja memberi pesan kepada putera
bungsu agar mencari tanah yang keadaannya sesuai dengan tanah yang dibawanya
tadi. Putera bungsu akhirnya sampai di hutan Kutasuah, Tanah Karo. Karena tanah
disekitar ini sesuai dengan tanah yang dibawanya tadi, maka ditempat itulah ia
mendirikan tempat tinggal dan disekitar tempat itu telah ada penduduk lain yang tidak
diketahui asal keturunannya, tetapi karena melihat pendatang baru (putera bungsu) itu
adalah orang baik-baik, maka mereka sepakat untuk menerimanya sebagai warga desa
dan putera bungsu dikawinkan dengan gadis Beru Ginting Suka.
Dari perkawinan itu putera bungsu mendapatkan keturunan empat orang anak
yaitu tiga laki-laki dan satu perempuan yang masing-masing diberi nama :
Lingga (Laki-laki)
Bakti (Laki-laki)
Cibu (Laki-laki)
Jumpa Lingga (Perempuan)
Desa tersebut kemudian diberi nama “Lingga” sesuai dengan asal putera
bungsu tersebut. Setelah putera-puteri ini dewasa maka mereka berpisah satu sama
lainnya ke daerah-daerah:
Lingga : Tetap tinggal di desa Lingga
Bakti : Berangkat ke daerah Utara, membuat suatu tempat tinggal
baru yang diberi nama Surbakti.
Cibu : Berangkat ke arah Selatan dan disuatu hutan dia juga
mendirikan tempat tinggal yang diberi nama Kacaribu.
Jumpa Lingga : Ikut bersama Lingga dan tak lama kemudian dia meninggal.
Masing-masing putera tadi kawin dan mempunyai keturunan di setiap desa dan
sepakat membentuk suatu persatuan yang diberi nama “Urung Telu Kuru”.
Lingga mempunyai keturunan lima orang anak laki-laki yang diberi nama
1. Berlin
2. Kencanen
3. Buah
4. Ulungjadi
5. Gara
Cibu (Laki-laki)
Jumpa Lingga (Perempuan)
Desa tersebut kemudian diberi nama “Lingga” sesuai dengan asal putera
bungsu tersebut. Setelah putera-puteri ini dewasa maka mereka berpisah satu sama
lainnya ke daerah-daerah:
Lingga : Tetap tinggal di desa Lingga
Bakti : Berangkat ke daerah Utara, membuat suatu tempat tinggal
baru yang diberi nama Surbakti.
Cibu : Berangkat ke arah Selatan dan disuatu hutan dia juga
mendirikan tempat tinggal yang diberi nama Kacaribu.
Jumpa Lingga : Ikut bersama Lingga dan tak lama kemudian dia meninggal.
Masing-masing putera tadi kawin dan mempunyai keturunan di setiap desa dan
sepakat membentuk suatu persatuan yang diberi nama “Urung Telu Kuru”.
Lingga mempunyai keturunan lima orang anak laki-laki yang diberi nama
1. Berlin
2. Kencanen
3. Buah
4. Ulungjadi
5. Gara
Kelomok-kelompok perumahan dari masing-masing putera ini, kemudian
diberi nama sesuai nama mereka yaitu :
Kesain Rumah Mbelin
Kesain Rumah Kencanen
diberi nama sesuai nama mereka yaitu :
Kesain Rumah Mbelin
Kesain Rumah Kencanen
Kesain Rumah Buah
Kesain Rumah Ulungjadi
Kesain Rumah Gara
Kemudian pada suatu saat, putera sulung dari raja Linggaraja berangkat
menyusul putera bungsu, dan dalam perjalanan dia sampai di Nadi (perbatasan Karo
dengan Alas) kemudian ia kawin di desa tersebut dan mendapt keturunan tiga orang
putera.
Setelah putera-putera ini dewasa mereka disuruh orang tuanya meninggalkan
desa tersebut, karena menurut firasatnya desa itu akan dilanda banjir. Seorang diantara
mereka yang bernama Jahe bersama istrinya Beru Nagasaribu berangkat kearah Timur
dan sampai di daerah Perbesi Kabupaten Karo. Di Perbesi ia mendapat kabar bahwa
penghulu di desa Lingga berasal dari keturunan Raja Linggaraa dari Dairi. Mendengar
hal tersebut ia segera berangkat menuju Lingga dan sesampainya di Lingga dia
kemudian menuturkan kisahnya kepada penghulu bahwa mereka asih mempunyai
hubungan keluarga, sehingga dia diterima oleh warga desa.
Kesain Rumah Ulungjadi
Kesain Rumah Gara
Kemudian pada suatu saat, putera sulung dari raja Linggaraja berangkat
menyusul putera bungsu, dan dalam perjalanan dia sampai di Nadi (perbatasan Karo
dengan Alas) kemudian ia kawin di desa tersebut dan mendapt keturunan tiga orang
putera.
Setelah putera-putera ini dewasa mereka disuruh orang tuanya meninggalkan
desa tersebut, karena menurut firasatnya desa itu akan dilanda banjir. Seorang diantara
mereka yang bernama Jahe bersama istrinya Beru Nagasaribu berangkat kearah Timur
dan sampai di daerah Perbesi Kabupaten Karo. Di Perbesi ia mendapat kabar bahwa
penghulu di desa Lingga berasal dari keturunan Raja Linggaraa dari Dairi. Mendengar
hal tersebut ia segera berangkat menuju Lingga dan sesampainya di Lingga dia
kemudian menuturkan kisahnya kepada penghulu bahwa mereka asih mempunyai
hubungan keluarga, sehingga dia diterima oleh warga desa.
Di Lingga, Jahe kemudian kawin lagi dengan gadis Beru Sebayang dari
Perbesi dan terakhir dengan gadis Ginting Rumah Page.
Kelompok perumahan keturunan si Jahe ini kemudian diberi nama Kesain
Rumah Jahe. Seterusnya akibat perkembangan jumlah penduduk, maka desa Lingga
telah terdapat sebelas Kesain yaitu :
1. Kesain Rumah Silebe Merdang
2. Kesain Rumah Mbelin
Perbesi dan terakhir dengan gadis Ginting Rumah Page.
Kelompok perumahan keturunan si Jahe ini kemudian diberi nama Kesain
Rumah Jahe. Seterusnya akibat perkembangan jumlah penduduk, maka desa Lingga
telah terdapat sebelas Kesain yaitu :
1. Kesain Rumah Silebe Merdang
2. Kesain Rumah Mbelin
Kesain RumahUlungjadi
4. Kesain Rumah Gara
5. Kesain Rumah Buah
6. Kesain Rumah Bangun
7. Kesain Rumah Benteng
8. Kesain Rumah Jahe
9. Kesain Rumah Kencanen
10. Kesain Rumah Manik
11. Kesain Rumah Taringan
2.2 Cara-cara mendirikan Rumah Adat Siwaluh Jabu dan Struktur
Bangunannya.
Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membangun Rumah Adat Siwalih
Jabu bersumberdari hutan. Pada zaman dahulu, untuk mendirikan Rumah Adat
Siwalih Jabu ini dianggap sebagai pekerjaan besar, karena untuk menyelesaikan
pembangunan satu rumah adat memakan waktu sampai satu tahun. Oleh karenanya
mendirikan rumah tersebut dilakukan dengan tahap dan selalu dilakukan secara
bergotong royong masyarakat.
Model utama di dalam mendirikan Rumah Adat itu adalah gotong royong.
Unsur penggerak adalah Rakut Adat dan sebagai pembantu ialah golongan
masyarakat yang terdapat di suatu desa.
2.2.1 Padi-padiken Tapak Rumah
Beberapa keluarga yang bermaksud mendirikan Rumah Adat itu, mencari dan
menentukan pertapakan rumah yang bakal dibangun. Apabila pertapakan itu sudah
diperoleh dan dianggap baik letaknya, maka akan diadakan suatu acara yang dinamai
“pad-padiken Tampak Rumah.” Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah
pertapakan tersebut serasi dan tidak menimbulkan bala yang menempatinya kelak.
Biasanya acara Padi-padiken Tapak Rumah diatur pengetua adat dan dukun
untuk mendapatkan suatu firasat. Bila ternyata setelah upacara itu dilaksanakan
hasilnya kurang baik maka dicari pertapakan lain.
Adapun cara dukun untuk mengetahui hal tersebut adalah dukun mengambil
segenggam tanah pertapakan dan dilengkapi dengan belo cawir (sirih). Tanah bersama
sirih itu diletakkan pada suatu tempat sebelum tidur dengan terlebih dahulu
mengucapkan meminta firasat kepada roh yang berkuasa, melalui mimpinya. Besok
harinya, dukun memperhatikan mimpinya dan menanyakan mimpi anggota keluarga
yang mendirikan rumah itu. Apabila dukun dalam mimpinya menerima firasat baik
begitu juga mimpi anggota keluarga yang mendirikan rumah, maka areal itu dapat
digunakan.
4. Kesain Rumah Gara
5. Kesain Rumah Buah
6. Kesain Rumah Bangun
7. Kesain Rumah Benteng
8. Kesain Rumah Jahe
9. Kesain Rumah Kencanen
10. Kesain Rumah Manik
11. Kesain Rumah Taringan
2.2 Cara-cara mendirikan Rumah Adat Siwaluh Jabu dan Struktur
Bangunannya.
Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membangun Rumah Adat Siwalih
Jabu bersumberdari hutan. Pada zaman dahulu, untuk mendirikan Rumah Adat
Siwalih Jabu ini dianggap sebagai pekerjaan besar, karena untuk menyelesaikan
pembangunan satu rumah adat memakan waktu sampai satu tahun. Oleh karenanya
mendirikan rumah tersebut dilakukan dengan tahap dan selalu dilakukan secara
bergotong royong masyarakat.
Model utama di dalam mendirikan Rumah Adat itu adalah gotong royong.
Unsur penggerak adalah Rakut Adat dan sebagai pembantu ialah golongan
masyarakat yang terdapat di suatu desa.
2.2.1 Padi-padiken Tapak Rumah
Beberapa keluarga yang bermaksud mendirikan Rumah Adat itu, mencari dan
menentukan pertapakan rumah yang bakal dibangun. Apabila pertapakan itu sudah
diperoleh dan dianggap baik letaknya, maka akan diadakan suatu acara yang dinamai
“pad-padiken Tampak Rumah.” Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah
pertapakan tersebut serasi dan tidak menimbulkan bala yang menempatinya kelak.
Biasanya acara Padi-padiken Tapak Rumah diatur pengetua adat dan dukun
untuk mendapatkan suatu firasat. Bila ternyata setelah upacara itu dilaksanakan
hasilnya kurang baik maka dicari pertapakan lain.
Adapun cara dukun untuk mengetahui hal tersebut adalah dukun mengambil
segenggam tanah pertapakan dan dilengkapi dengan belo cawir (sirih). Tanah bersama
sirih itu diletakkan pada suatu tempat sebelum tidur dengan terlebih dahulu
mengucapkan meminta firasat kepada roh yang berkuasa, melalui mimpinya. Besok
harinya, dukun memperhatikan mimpinya dan menanyakan mimpi anggota keluarga
yang mendirikan rumah itu. Apabila dukun dalam mimpinya menerima firasat baik
begitu juga mimpi anggota keluarga yang mendirikan rumah, maka areal itu dapat
digunakan.
2.2.2 Ngempak
Setelah pertapakan didapat, maka keluarga-keluarga yang mendirikan rumah itu menetapkan hari “Salangsari” (baik) dengan perantaraan dukun, untuk dapat pergi ke suatu hutan guna mencari kayu untuk rumah tersebut. Pada suatu hari yang telah ditentukan mereka berangkat ke sebuah hutan bersama seorang gadis yang masih mempunyai ayah dan ibu, dengan tujuan mencari kayu untuk ditebang. Pada saat penebangan pertama, dukun memperhatikan
bagaimana cara tumbang kayu tersebut. Bila pada penebangan pertama itu ternyata
ada tanda-tanda yang kurang baik, maka diulang kembali sampai mendapat firasat
yang baik. Penebangan kayu pertama ini disebut “Ngempek”
2.2.3 Ngerintak Kayu
Setelah perkayuan dari rumah itu sudah dikumpulkan secukupnya, hal ini
bertujuan untuk mengundang penduduk desa agar bersedia memberikan bantuan
tenaga dalam menarik kayu dari hutan.
Demikianlah, kayu itu secara bertahap ditarik bersama oleh penduduk sampai
semuanya selesai dan terkumpul pada tempat yang telah ditentukan. Setelah selesai
pekerjaan Ngerintak kayu, biasanya diadakan suatu kenduri. Semua orang turut
menarik kayu itu dan tukang yang akan mengerjakannya diundang dimana diadakan
jamuan makan bersama. Biaya kenduri itu menjadi tanggungan keluarga-keluarga
yang mendirikan rumah.
Setelah pertapakan didapat, maka keluarga-keluarga yang mendirikan rumah itu menetapkan hari “Salangsari” (baik) dengan perantaraan dukun, untuk dapat pergi ke suatu hutan guna mencari kayu untuk rumah tersebut. Pada suatu hari yang telah ditentukan mereka berangkat ke sebuah hutan bersama seorang gadis yang masih mempunyai ayah dan ibu, dengan tujuan mencari kayu untuk ditebang. Pada saat penebangan pertama, dukun memperhatikan
bagaimana cara tumbang kayu tersebut. Bila pada penebangan pertama itu ternyata
ada tanda-tanda yang kurang baik, maka diulang kembali sampai mendapat firasat
yang baik. Penebangan kayu pertama ini disebut “Ngempek”
2.2.3 Ngerintak Kayu
Setelah perkayuan dari rumah itu sudah dikumpulkan secukupnya, hal ini
bertujuan untuk mengundang penduduk desa agar bersedia memberikan bantuan
tenaga dalam menarik kayu dari hutan.
Demikianlah, kayu itu secara bertahap ditarik bersama oleh penduduk sampai
semuanya selesai dan terkumpul pada tempat yang telah ditentukan. Setelah selesai
pekerjaan Ngerintak kayu, biasanya diadakan suatu kenduri. Semua orang turut
menarik kayu itu dan tukang yang akan mengerjakannya diundang dimana diadakan
jamuan makan bersama. Biaya kenduri itu menjadi tanggungan keluarga-keluarga
yang mendirikan rumah.
2.2.4 Pebelit-belitken
Sebelum pande (tukang) mulai bekerja pada suatu hari yang telah ditentukan
diadakan suatu acara yang disebut “Pebelit-belitken”, yang mana pada acara ini
dihadiri oleh keluarga-keluarga yang mendirikan rumah beserta anak beru, senina,
kalimbubu, Pengetua atau Bangsa Tanah serta Pande (tukang) rumah yang bakal
dibangun.
Acara ini bertujuan untuk mengikat suatu perjanjian antara pihak pendir rumah
dengan pande disaksikan oleh pihak Senina dan kalimbubu dan dijamini oleh Anak
Berunya masing-masing. Pada acara ini juga diadakan jamuan makan.
2.2.5 Mahat
Beberapa hari setelah acara Perbelit-belitken, Pande (tukang) telah dapat
melakukan tugasnya. Kayu yang telah tersedia itu mulai diukur dan dikupas dengan
“Beliung” (semacam kampak) sesuai dengan yang diperlukan, dan pekerjaan yang
berikutnya dikerjakan pekerja mahat (memahat) perkayuan.
Pada waktu mahat, masing-masing orang empunya memanggil kawannya lima
orang dilengkapi dengan peralatannya. Mula-mula Pande (tukang) memberikan
petunjuk yang dilanjutkan dengan “Pemahatan pertama” oleh dukun. Selanjutnya baru
dapat dilanjutkan pekerjaan oleh orang-orang yang telah ditentukan.
2.2.6 Ngapaken Tekang
Setelah “Binangun” (tiang besar) selesai dikerjakan dan ditegakkan di atas
(fondasi), begitu juga peralatan pekerjaan, perkayuan besar dibahagian bawah rumah
itu selesai dipasang, maka sebahagian dari pekerjaan Pande (tukang) telah dapat
dikatakan selesai. Oleh karenanya pekerjaan dapat dilanjutkan dengan “Ngampaken
Tekang” yaitu mengangkat dan menaikan belahan balok panjang yang berfungsi
sebagai tutup yang letaknya memanjang di dalam rumah itu.
Pekerjaan ini juga harus disertai oleh tenaga gotong-royong oleh keluargakeluarga
yang mendirikan rumah tersebut.
2.2.7 Ngapeken Ayo
Beberapa hari setelah acara Perbelit-belitken, Pande (tukang) telah dapat
melakukan tugasnya. Kayu yang telah tersedia itu mulai diukur dan dikupas dengan
“Beliung” (semacam kampak) sesuai dengan yang diperlukan, dan pekerjaan yang
berikutnya dikerjakan pekerja mahat (memahat) perkayuan.
Pada waktu mahat, masing-masing orang empunya memanggil kawannya lima
orang dilengkapi dengan peralatannya. Mula-mula Pande (tukang) memberikan
petunjuk yang dilanjutkan dengan “Pemahatan pertama” oleh dukun. Selanjutnya baru
dapat dilanjutkan pekerjaan oleh orang-orang yang telah ditentukan.
2.2.6 Ngapaken Tekang
Setelah “Binangun” (tiang besar) selesai dikerjakan dan ditegakkan di atas
(fondasi), begitu juga peralatan pekerjaan, perkayuan besar dibahagian bawah rumah
itu selesai dipasang, maka sebahagian dari pekerjaan Pande (tukang) telah dapat
dikatakan selesai. Oleh karenanya pekerjaan dapat dilanjutkan dengan “Ngampaken
Tekang” yaitu mengangkat dan menaikan belahan balok panjang yang berfungsi
sebagai tutup yang letaknya memanjang di dalam rumah itu.
Pekerjaan ini juga harus disertai oleh tenaga gotong-royong oleh keluargakeluarga
yang mendirikan rumah tersebut.
2.2.7 Ngapeken Ayo
Rumah Adat Karo mempunyai “Ayo”, yaitu bagian atas rumah yang berbentuk
segi tiga. Ayo Rumah Adat itu terbuat dari bambu dengan anyaman bercorak khusus
diberi ragam warna dengan motif hiasan bidang. Bayu-bayu (anyaman bambu) yang
Bila ditinjau dari segi arsitektur bangunannya yang indah. Selain dari segi
keindahannya, dikenal berfungsi sebagai pembinaan keluarga dan social
Disamping itu Rumah Adat Karo mempunyai keistimewaan dalam hal
pembuatannya. Rumah itu dapat berdiri dengan megahnya walaupun dengan peralatan
yang sederhana dan tidak menggunakan paku untuk perekatnya.
keindahannya, dikenal berfungsi sebagai pembinaan keluarga dan social
Disamping itu Rumah Adat Karo mempunyai keistimewaan dalam hal
pembuatannya. Rumah itu dapat berdiri dengan megahnya walaupun dengan peralatan
yang sederhana dan tidak menggunakan paku untuk perekatnya.
2.3 Pengaturan Penghuni Rumah Adat Karo Siwaluh Jabu
Susunan jabu-jabu dalam Rumah Adat Karo sesuai dengan setiap jabu
mempunyai nama, kedudukan dan fungsi tersendiri Rumah Adat Karo terdiri dari
delapan jabu (delapan keluarga).
Jabu artinya salah satu dari bagian Rumah Adat Karo sebagai tempat tinggal satu
keluarga setiap anggota-anggota keluarganya yang menempati jabu-jabu itu masih
mempunyai hubungan keluarga.
Kehidupan di dalam Rumah Adat Karo diatur oleh kebiasaan atau adapt serta
ketentuan-ketentuan lainnya yang diciptakan penghuninya.
Khusus untuk menjaga keamanan harta benda di rumah itu, pada siang hari
diadakan tugas jaga secara bergilir yang disebut “Kerin”. Karena pada siang hari
semua keluarga yang tinggal di rumah itu bekerja di lading. Dengan adanya Kerin
tersebut, maka tanggung jawab sepenuhnya atas segala harta benda milik keluarga
yang tinggal di rumah itu menadi tanggung jawab si penjaga.
Suatu rumah adat, bukanlah milik perorangan, tapi milk bersama dari keluarga
yang menempatinya. Dalam hubungan itulah setiap jabu dibuat namanya sekaligus kedudukan dan fungsinya dalam rumah adat tersebut. Untuk lebih jelasnya berikut ini
akan diuraikan denah dan keterangan jabu Rumah Adat Karo.
keluarga setiap anggota-anggota keluarganya yang menempati jabu-jabu itu masih
mempunyai hubungan keluarga.
Kehidupan di dalam Rumah Adat Karo diatur oleh kebiasaan atau adapt serta
ketentuan-ketentuan lainnya yang diciptakan penghuninya.
Khusus untuk menjaga keamanan harta benda di rumah itu, pada siang hari
diadakan tugas jaga secara bergilir yang disebut “Kerin”. Karena pada siang hari
semua keluarga yang tinggal di rumah itu bekerja di lading. Dengan adanya Kerin
tersebut, maka tanggung jawab sepenuhnya atas segala harta benda milik keluarga
yang tinggal di rumah itu menadi tanggung jawab si penjaga.
Suatu rumah adat, bukanlah milik perorangan, tapi milk bersama dari keluarga
yang menempatinya. Dalam hubungan itulah setiap jabu dibuat namanya sekaligus kedudukan dan fungsinya dalam rumah adat tersebut. Untuk lebih jelasnya berikut ini
akan diuraikan denah dan keterangan jabu Rumah Adat Karo.
JABU BENA KAYU : didiami oleh para keturunan simantek kuta (Golongan
Pendiri Kampung).
JABU SEDAPUR BENA KAYU (PENINGGEL-NINGGEL) : Didiami oleh
Anak Beru Menteri dari simantek kuta /Jabu Bena Kayu.
JABU SEDAPUREN LEPAR UJUNG KAYU (BICARA GURU) : Didiami
oleh Guru/Tokoh Spiritual atau Tabib yang mengetahui berbagai pengobatan.
Bertugas untuk mengobati anggota rumah yang sakit.
JABU LEPAR UJUNG KAYU (MAN-MINUM) : Didiami oleh Kalimbubu
Jabu Bena Kayu.
JABU UJUNG KAYU (ANAK BERU) : Didiami oleh Anak Kuta atau Anak
Beru dari Jabu Bena Kayu, yang berfungsi sebagai juru bicara Jabu Bena
Kayu.
JABU SEDAPUR UJUNG KAYU (RINTENENG) :Didiami oleh sembuyak
dari Ujung Kayu, bertugas untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur
kepada tamu Jabu Bena Kayu.
JABU SEDAPUREN LEPAR BENA KAYU : Didiami oleh Puang
Kalimbubu dari Jabu Bena Kayu, disebut juga Jabu Pendungin Ranan dan
dalam Runggun Adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh Puang
Kalimbubu.
JABU LEPAR BENA KAYU (SUNGKUN BERITA) : Didiami oleh
sembuyak dari Jabu Bena Kayu, berfungsi untuk mendengarkan berita yang
terjadi di luar rumah dan menyampaikannya kepada Jabu Bena Kayu.
Pendiri Kampung).
JABU SEDAPUR BENA KAYU (PENINGGEL-NINGGEL) : Didiami oleh
Anak Beru Menteri dari simantek kuta /Jabu Bena Kayu.
JABU SEDAPUREN LEPAR UJUNG KAYU (BICARA GURU) : Didiami
oleh Guru/Tokoh Spiritual atau Tabib yang mengetahui berbagai pengobatan.
Bertugas untuk mengobati anggota rumah yang sakit.
JABU LEPAR UJUNG KAYU (MAN-MINUM) : Didiami oleh Kalimbubu
Jabu Bena Kayu.
JABU UJUNG KAYU (ANAK BERU) : Didiami oleh Anak Kuta atau Anak
Beru dari Jabu Bena Kayu, yang berfungsi sebagai juru bicara Jabu Bena
Kayu.
JABU SEDAPUR UJUNG KAYU (RINTENENG) :Didiami oleh sembuyak
dari Ujung Kayu, bertugas untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur
kepada tamu Jabu Bena Kayu.
JABU SEDAPUREN LEPAR BENA KAYU : Didiami oleh Puang
Kalimbubu dari Jabu Bena Kayu, disebut juga Jabu Pendungin Ranan dan
dalam Runggun Adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh Puang
Kalimbubu.
JABU LEPAR BENA KAYU (SUNGKUN BERITA) : Didiami oleh
sembuyak dari Jabu Bena Kayu, berfungsi untuk mendengarkan berita yang
terjadi di luar rumah dan menyampaikannya kepada Jabu Bena Kayu.
15
JABU SEDAPUR UJUNG KAYU (RINTENENG) :Didiami oleh sembuyak
dari Ujung Kayu, bertugas untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur
kepada tamu Jabu Bena Kayu.
JABU SEDAPUREN LEPAR BENA KAYU : Didiami oleh Puang
Kalimbubu dari Jabu Bena Kayu, disebut juga Jabu Pendungin Ranan dan
dalam Runggun Adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh Puang
Kalimbubu.
JABU LEPAR BENA KAYU (SUNGKUN BERITA) : Didiami oleh
sembuyak dari Jabu Bena Kayu, berfungsi untuk mendengarkan berita yang
terjadi di luar rumah dan menyampaikannya kepada Jabu Bena Kayu.
JABU SEDAPUR UJUNG KAYU (RINTENENG) :Didiami oleh sembuyak
dari Ujung Kayu, bertugas untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur
kepada tamu Jabu Bena Kayu.
JABU SEDAPUREN LEPAR BENA KAYU : Didiami oleh Puang
Kalimbubu dari Jabu Bena Kayu, disebut juga Jabu Pendungin Ranan dan
dalam Runggun Adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh Puang
Kalimbubu.
JABU LEPAR BENA KAYU (SUNGKUN BERITA) : Didiami oleh
sembuyak dari Jabu Bena Kayu, berfungsi untuk mendengarkan berita yang
terjadi di luar rumah dan menyampaikannya kepada Jabu Bena Kayu.
Adat Istiadat/Tata Kehidupan
Susunan Masyarakat
Masyarakat Lingga yang terdiri dari suku Batak Karo hidup dibawah
lingkungan adat yang sangat berpengaruh, kehidupan mereka melambangkan Merga
Silima, Tutur Siwaluh, Rakut Sitelu Merga Silima.
Masyarakat Karo membagi marga atas 5 bagian, yaitu :
1. Karo-karo
2. Sembiring
3. Ginting
4. Perangin-angin
5. Tarigan
Menurut sejarahnya merga berasal dari kata “Meherga” yang berarti berharga.
Merga itu berfungsi sebagai tanda mengenal kelompok, garis keturunan dan sejarah
tempat tinggal. Dengan adanya merga itu maka untuk setiap kelompok masyarakat
yang mempunyai merga tentu dapat dikenal.
Pada zaman dahulu, dataran tinggi Tanah Karo masih terdiri dari hutan lebih
utama dipinggiran pegunungan, penduduk telah menempati daerahnya dengan
kelompok yang berpencar. Adakalanya terjadi perpindahan karena gangguan alam,
binatang buas, mencari tempat yang lebih baik.
Kelompok penduduk itu hidup dengan sederhana dan diatur oleh norma-norma
yang berlaku di lingkungannya.
Pada umumnya kelompok penduduk itu adalah kelompok keluarga dari satu
keturunan.
Karena semakin banyak jumlah penduduk pada suatu kelompok maka timbul
suatu gagasan untuk membuat atau memberi nama kelompoknya. Dengan adanya
tanda kelompok itu diharapkan tidak akan teradi perselisihan atau perkelahian antara
yang satu dengan kelompok yang lain bila bertemu, untuk lebih mengingatnya tanda
kelompok tersebut jumlahnya dibuat lima yang sampai sekarang dikenal sebagai tanda
garis keturunan dengan sebutan “Merga Silima” dan garis keturunan yang berlaku
pada masyarakat Karo ialah garis keturunan ayah.
Merga itu berfungsi sebagai tanda mengenal kelompok, garis keturunan dan sejarah
tempat tinggal. Dengan adanya merga itu maka untuk setiap kelompok masyarakat
yang mempunyai merga tentu dapat dikenal.
Pada zaman dahulu, dataran tinggi Tanah Karo masih terdiri dari hutan lebih
utama dipinggiran pegunungan, penduduk telah menempati daerahnya dengan
kelompok yang berpencar. Adakalanya terjadi perpindahan karena gangguan alam,
binatang buas, mencari tempat yang lebih baik.
Kelompok penduduk itu hidup dengan sederhana dan diatur oleh norma-norma
yang berlaku di lingkungannya.
Pada umumnya kelompok penduduk itu adalah kelompok keluarga dari satu
keturunan.
Karena semakin banyak jumlah penduduk pada suatu kelompok maka timbul
suatu gagasan untuk membuat atau memberi nama kelompoknya. Dengan adanya
tanda kelompok itu diharapkan tidak akan teradi perselisihan atau perkelahian antara
yang satu dengan kelompok yang lain bila bertemu, untuk lebih mengingatnya tanda
kelompok tersebut jumlahnya dibuat lima yang sampai sekarang dikenal sebagai tanda
garis keturunan dengan sebutan “Merga Silima” dan garis keturunan yang berlaku
pada masyarakat Karo ialah garis keturunan ayah.
2.4.2 Kepercayaan
Sejak berdirinya keajaan Lingga, penduduk masih mempunyai kepercayaan
Animisme, namun sebagian penduduk sudah menganut Agama Protestan, Islam,
Khatolik, Pantekosta.
Sejak berdirinya keajaan Lingga, penduduk masih mempunyai kepercayaan
Animisme, namun sebagian penduduk sudah menganut Agama Protestan, Islam,
Khatolik, Pantekosta.
Benda-benda atau tempat-tempat yang luar biasa, dianggap mempunyai roh
dan memiliki kekuatan gaib. Adanya kepercayaan yang demikian, sangat
mempengaruhi kehidupan mereka sehingga guru (dukun) sangat menentukan dalam
setiap usaha yang akan dijalankan.
Ada sebuah tempat yang dianggap suci oleh penduduk desa Lingga, yaitu
sebuah kuburan dari Tengku Lau Bahun. Jika terjadi bencana di desa Lingga, maka
seluru penduduk dating ke kuburan itu untuk meminta agar bencana iu dihentikan.
Apabila panen jadi sangat berkurang, maka penduduk ke kuburan itu untuk
meminta agar panen selanjutnya mendapat hasil yang baik, dan biasanya permintaan
mereka dikabulkan. Juga bila sawah mereka diserang tikus dan burungburung, maka
mereka pergi ke kuburan mengambil bunga-bunga yang ada disekitar kuburan itu
untuk ditaburkan di sawah mereka. Setelah bunga itu ditaburkan, maka tikus dan
burung-burung tidak lagi menyerang sawah mereka.
Penduduk yang datang ke kuburan itu tidak saja yang menganut animisme
tetapi juga yang telah beragama. Menurut kebiasaan dalam perjalanan pulang dari
kuburan itu akan turun hujan sekalipun itu musim kemarau, apabila penduduk
memohon untuk turun hujan.
Menurut cerita yang terdapat pada penduduk Lingga, Tengkulau Bahum itu
berasal dari Aceh, pertama kali datang ke Lingga kebetulan padi sedang menguning,
tetapi tidak ada buahnya, maka oleh Tengku Lau Bahum dibacakan mantra-mantra,
maka padi tersebut menjadi bagus dan hasil panennya baik.
Konon ceritanya Tengku Lau Bahum ini pergi ke desa Sungka Buksi dan
disana dia dibunuh dengan cara memasukkan pedang ke duburnya. Sewaktu terbunuhnya Tengku Lau Bahum, padi yang terdapat di desa Lingga menjadi rusak,
berwarna kemerah-merahan dan tidak berisi. Tiba-tiba ada seorang penduduk yang
kesurupan dan mengatakan tanaman padi di Lingga ini bias menjadi bagus asalkan
mayat Tengku Lau Bahum dibawa ke Lingga.
Untuk mengambil mayat Tengku Lau Bahum ini penduduk Lingga harus
berperang melawan penduduk Suka Baksi dan akhirnya penduduk Lingga menang
dan berhasil membawa mayat Tengku Lau Bahum itu ke Lingga.
Mayat Tengku Lau Bahun dimakamkan di suatu tempat 3 km dari desa
Lingga, nama daerah tersebut adalah Tengku Lau Bahum. Demikianlah sehingga padi
yang telah rusak tersebut menjadi bagus kembali dan berisi.
Jadi sebenarnya nama dari Tengku Lau Bahunm ini tidak diketahui oleh
penduduk Lingga, mereka menyebutnya Tengku Lau Bahun karena makamnya
terdapat di daerah Tengku Lau Bahum.
dan memiliki kekuatan gaib. Adanya kepercayaan yang demikian, sangat
mempengaruhi kehidupan mereka sehingga guru (dukun) sangat menentukan dalam
setiap usaha yang akan dijalankan.
Ada sebuah tempat yang dianggap suci oleh penduduk desa Lingga, yaitu
sebuah kuburan dari Tengku Lau Bahun. Jika terjadi bencana di desa Lingga, maka
seluru penduduk dating ke kuburan itu untuk meminta agar bencana iu dihentikan.
Apabila panen jadi sangat berkurang, maka penduduk ke kuburan itu untuk
meminta agar panen selanjutnya mendapat hasil yang baik, dan biasanya permintaan
mereka dikabulkan. Juga bila sawah mereka diserang tikus dan burungburung, maka
mereka pergi ke kuburan mengambil bunga-bunga yang ada disekitar kuburan itu
untuk ditaburkan di sawah mereka. Setelah bunga itu ditaburkan, maka tikus dan
burung-burung tidak lagi menyerang sawah mereka.
Penduduk yang datang ke kuburan itu tidak saja yang menganut animisme
tetapi juga yang telah beragama. Menurut kebiasaan dalam perjalanan pulang dari
kuburan itu akan turun hujan sekalipun itu musim kemarau, apabila penduduk
memohon untuk turun hujan.
Menurut cerita yang terdapat pada penduduk Lingga, Tengkulau Bahum itu
berasal dari Aceh, pertama kali datang ke Lingga kebetulan padi sedang menguning,
tetapi tidak ada buahnya, maka oleh Tengku Lau Bahum dibacakan mantra-mantra,
maka padi tersebut menjadi bagus dan hasil panennya baik.
Konon ceritanya Tengku Lau Bahum ini pergi ke desa Sungka Buksi dan
disana dia dibunuh dengan cara memasukkan pedang ke duburnya. Sewaktu terbunuhnya Tengku Lau Bahum, padi yang terdapat di desa Lingga menjadi rusak,
berwarna kemerah-merahan dan tidak berisi. Tiba-tiba ada seorang penduduk yang
kesurupan dan mengatakan tanaman padi di Lingga ini bias menjadi bagus asalkan
mayat Tengku Lau Bahum dibawa ke Lingga.
Untuk mengambil mayat Tengku Lau Bahum ini penduduk Lingga harus
berperang melawan penduduk Suka Baksi dan akhirnya penduduk Lingga menang
dan berhasil membawa mayat Tengku Lau Bahum itu ke Lingga.
Mayat Tengku Lau Bahun dimakamkan di suatu tempat 3 km dari desa
Lingga, nama daerah tersebut adalah Tengku Lau Bahum. Demikianlah sehingga padi
yang telah rusak tersebut menjadi bagus kembali dan berisi.
Jadi sebenarnya nama dari Tengku Lau Bahunm ini tidak diketahui oleh
penduduk Lingga, mereka menyebutnya Tengku Lau Bahun karena makamnya
terdapat di daerah Tengku Lau Bahum.
Suku Batak Karo mempunyai bangunan yang tradisional. Sebuah kesain
(kepanghuluan) pada umumnya terdiri dari beberapa buah rumah adat, yaitu jambur,
lesung, dan griten.
Rumah adat merupakan tempat tinggal bersama antara beberapa keluarga.
Penghuninya terdiri dari keluarga terdekat. Ruangan di dalam rumah dibagi dua
bahagian oleh sebuah jalur yang memanjang dari Timur ke Barat, dan seluruh ruangan
dibagi atas delapan bagian (jabu).
(kepanghuluan) pada umumnya terdiri dari beberapa buah rumah adat, yaitu jambur,
lesung, dan griten.
Rumah adat merupakan tempat tinggal bersama antara beberapa keluarga.
Penghuninya terdiri dari keluarga terdekat. Ruangan di dalam rumah dibagi dua
bahagian oleh sebuah jalur yang memanjang dari Timur ke Barat, dan seluruh ruangan
dibagi atas delapan bagian (jabu).
Patung Kepala Kerbau
Kepala kerbau yang terdapat pada Rumah Adat Karoberada dalam posisi
tanduk dengan tanduk menghadap ke muka, menggambarkan bahwa orang Karo
menghormati setiap pendatang ke daerahnya. Tanduk yang runcing itu merupakan
kesiagaan dari penduduk apabila pendatang baru itu berniat jahat, dan juga sebagai
tangkal dari ilmu hitam yang akan masuk ke rumah tersebut.
2.5.2 Dinding dan ayo-ayo
Dinding dan ayo-ayo yang dipasang miring menggambarkan kerendahan hati
daripada masyarakat Karo.
Ayo-ayo ini berfungsi untuk mengeluarkan asap dari dapur dan juga berfungsi
untuk membuat tidak terlalu dingin.
2.5.3 Talit Ret-ret
Pengikat dinding miring, dan ada gambar cecak dengan dua kepala dan jarijari
tiga disebut “Beraspati Rumah”. Hal ini menggambarkan bahwa ikatan Anakberu,
Kalimbubu, dan Senina penghuni rumah tersebut mempunyai peranan yang sama
pentingnya.
Ukuran ini selain sebagai hiasan dan pengikat, juga melambangkan persatuan
dan dianggap sebagai penangkalan setan.
2.5.4 Pinggiran Atap
Pinggiran atap (cucuran air hujan) di sekeliling rumah pada segala arah yang
sama, menyatakan bahwa penduduk rumah juga mempunyai perasaan merata atau
senasib sepenanggungan.
Kepala kerbau yang terdapat pada Rumah Adat Karoberada dalam posisi
tanduk dengan tanduk menghadap ke muka, menggambarkan bahwa orang Karo
menghormati setiap pendatang ke daerahnya. Tanduk yang runcing itu merupakan
kesiagaan dari penduduk apabila pendatang baru itu berniat jahat, dan juga sebagai
tangkal dari ilmu hitam yang akan masuk ke rumah tersebut.
2.5.2 Dinding dan ayo-ayo
Dinding dan ayo-ayo yang dipasang miring menggambarkan kerendahan hati
daripada masyarakat Karo.
Ayo-ayo ini berfungsi untuk mengeluarkan asap dari dapur dan juga berfungsi
untuk membuat tidak terlalu dingin.
2.5.3 Talit Ret-ret
Pengikat dinding miring, dan ada gambar cecak dengan dua kepala dan jarijari
tiga disebut “Beraspati Rumah”. Hal ini menggambarkan bahwa ikatan Anakberu,
Kalimbubu, dan Senina penghuni rumah tersebut mempunyai peranan yang sama
pentingnya.
Ukuran ini selain sebagai hiasan dan pengikat, juga melambangkan persatuan
dan dianggap sebagai penangkalan setan.
2.5.4 Pinggiran Atap
Pinggiran atap (cucuran air hujan) di sekeliling rumah pada segala arah yang
sama, menyatakan bahwa penduduk rumah juga mempunyai perasaan merata atau
senasib sepenanggungan.
2.5.5 Dapur
Dapur merupakan tali pengikat seisi rumah untuk tempat membentuk satu
kesatuan.
2.5.6 Tungku
Tungku berjumlah 5 buah (tengku persekutuan 1 buah) tiap-tiap jabu
mempunyai 3 tungku yang sama tingginya, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat
Karo terdiri dari 5 induk dan 3 unsur pengikat yaitu Anak Beru, Senina, dan
Kalimbubu yang sama tingkatannya.
2.5.7 Jambur
Bangunan jambur ini mirip dengan rumah adat, terdiri dari 3 bahagian yaitu:
Bagian bawah : merupakan suatu lantai tidak berdinding
Bagian tengah : tempat penyimpanan padi
Bagian atas : suatu tempat kosong yang digunakan untuk tempat tidur
pemuda-pemuda kampong.
Menurut kebiasaan masyarakat Karo, anak laki-laki yang telah berusia 13
tahun, tidak lagi tidur di rumah tapi mereka tidur di jambur.
2.5.8 Lesung
Beberapa buah kesain mempunyai sebuah lesung persekutuan, yang digunakan
oleh gadis-gadis desa sebagai tempat menumbuk padi di malam hari.
Dapur merupakan tali pengikat seisi rumah untuk tempat membentuk satu
kesatuan.
2.5.6 Tungku
Tungku berjumlah 5 buah (tengku persekutuan 1 buah) tiap-tiap jabu
mempunyai 3 tungku yang sama tingginya, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat
Karo terdiri dari 5 induk dan 3 unsur pengikat yaitu Anak Beru, Senina, dan
Kalimbubu yang sama tingkatannya.
2.5.7 Jambur
Bangunan jambur ini mirip dengan rumah adat, terdiri dari 3 bahagian yaitu:
Bagian bawah : merupakan suatu lantai tidak berdinding
Bagian tengah : tempat penyimpanan padi
Bagian atas : suatu tempat kosong yang digunakan untuk tempat tidur
pemuda-pemuda kampong.
Menurut kebiasaan masyarakat Karo, anak laki-laki yang telah berusia 13
tahun, tidak lagi tidur di rumah tapi mereka tidur di jambur.
2.5.8 Lesung
Beberapa buah kesain mempunyai sebuah lesung persekutuan, yang digunakan
oleh gadis-gadis desa sebagai tempat menumbuk padi di malam hari.
2.5.9 Geriten
Geriten ini adalah merupakan suatu bangunan yang mirip dengan rumah adat.
Geriten bukanlah sebagai tempat mengusung mayat, akan tetapi sebagai tempat
kerangka orang-orang yang telah meninggal. Peralatan bangunan geriten tidaklah jauh
berbeda dengan peralatan rumah biasa.
Bangunan ini dibuat bertiang, mempunyai dinding dan atap. Pada alat-alat
geriten ini dibuat ukiran-ukiran khusus khas Karo dengan pahatan serta diberi warna.
Biaya bangunan ini sebenarnya cukup besar dan memerlukan suatu keahlian, oleh
karenanya yang memakai griten ini hanya terbatas pada bangsa tanah keturunan saja.
Geriten tersebut biasanya didirikan pada halaman rumah adat milik keluarga yang
bersangkutan.
Geriten ini adalah merupakan suatu bangunan yang mirip dengan rumah adat.
Geriten bukanlah sebagai tempat mengusung mayat, akan tetapi sebagai tempat
kerangka orang-orang yang telah meninggal. Peralatan bangunan geriten tidaklah jauh
berbeda dengan peralatan rumah biasa.
Bangunan ini dibuat bertiang, mempunyai dinding dan atap. Pada alat-alat
geriten ini dibuat ukiran-ukiran khusus khas Karo dengan pahatan serta diberi warna.
Biaya bangunan ini sebenarnya cukup besar dan memerlukan suatu keahlian, oleh
karenanya yang memakai griten ini hanya terbatas pada bangsa tanah keturunan saja.
Geriten tersebut biasanya didirikan pada halaman rumah adat milik keluarga yang
bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar